ALBINISME (Pelangi Putih): 6. Noktah
Secercah cahaya menyilaukan pupil mata, sudut mataku menatap
samar seberkas cahaya di sudut kegelapan. Noktah-noktah hitam menyatu menjadi
warna, terlalu gelap. Awan pekat berimbun saling berdekatan. Air mata langit
jatuh setetes demi tetes. Langit berduka. Deburan pasukan air raksasa jatuh
menimpa pasukan air lainnya. Langit senja hilang ditelan awan yang sedang kesal
hitam. Pesisir pantai tak ramai sore ini. Lalu apa yang kulakukan ditepi
pantai. Anginnya memelukku tak beraturan. Seberkas kilat tergores putih
diantara noktah-noktah langit. Mengumumkan kekesalan pada khalayak. Merasakan
akan kekecewaan, ketakutan, ke putus asaan. Sang raja siang tak memperlihatkan
senyum hangatnya, bak terpenjara oleh awan nan pekat itu.
Senja ini bukan untukku, aku berteman dengan senja yang lain.
Kutatihkan ke dua kakiku ragu di atas
pasir pantai, di bawah tangisan langit, di depan amukan laut, dihadapan ribuan
nyiur kelapa yang seolah melamabaikan daunnya untukku. Aku hanya ingin mencari
ketenangan jiwa yang mungkin akan kudapatkan dari Tuhan. Aku ingin memeluk
Tuhan.
Suara deburan ombak tinggi, petir disertai kilatan kilat
muncul ketika ku tertatih tepat di pesisir antara air dan pantai. Kakiku
meneruskan langkah ragu namun sontak saja terus melangkah. Aku menjerit, langit
menjerit, lautpun menjerit. Aku merasa tak ada daya apa-apa, rasanya kaku dan
lemah. Aku menunduk, menutup mata. Bersama badai dan petir.
Comments
Post a Comment