ALBINISME (Pelangi Putih) 4. Transparan
Ku alunkan kaki kanan dan kiriku secara berlawanan diatas bola-bola salju lembut yang tengah megguyurku, menyentuh tanah, menyentuh tangan dan kerudungku, begitu indah. Ku melangkah. Langkah demi langkah hingga tiba di sebuah persimpangan, aku duduk di sebuah kursi taman. Dihiasi lampu di setiap kursinya, begitu indah hujan putih ini. Salju turun seperti langit jatuh bersahaja, indah bagaikan sakura pink yang berguguran, seperti bulu angsa yang bertaburan dari bantal yang empuk.
Tepatnya hari ini sabtu siang seharusnya matahari sedang
terik dan tepat berada diatas kepala, namun rupanya angin sedang sangat
mencintaiku, ia memelukku terlalu erat, hingga ku membutuhkan mantel merah yang
kukenakan dan syal hangat untuk
menaklukannya.
Kutatap dalam diam, salju berjatuhan menutupi permukaan bumi
dan atap gedung-gedung pencakar langit, tapi tidak dengan hatiku. Jalan-jalan
berubah jadi putih seketika, seluruh sudut menjadi putih seakan suci kembali. Hanya
jalan setapak yang terlihat hitam, karena putihnya telah terhapus oleh jejak.
Aku duduk ditengah sepi, ditengah persimpangan yang seharusnya ramai, yang ada
hanyalah beberapa ekor burung yang tak aku tahu berasal dari mana. Lampu-lampu
kota begitu terang karena kota nampaknya tak begitu riang.
Beberapa butir salju dengan anggunnya menggenangi sepatu
bootku. Sangat lembut aku sentuh seperti es batu yang diserut dan siap
dihidangkan ketika musim panas, malah lebih lembut dari itu. Tiba-tiba kulihat
dua orang dari berlawanan arah berjalan lurus, mereka aneh tampak putih pucat,
namun bukan putih alami seorang barat. Aku
abaikan, aku tersenyum.
Kemudian kulihat lagi
beberapa orang berjalan dari berlawanan arah lagi menuju tujuan yang berlawanan,
dan pasti berpapasan di titik yang telah direncanakan dalam 1 waktu, mereka
sama, pucat pasi. Aku terdiam dalam sunyi. Sangat sunyi, senyap tak ada suara apapun,
bahkan jarum terjatuh pun sangat redam tak bersuara.
Aku mulai bingung, beberapa orang itu berlalu, hingga tak
berjejak, namun orang-orang serupa datang bergerumbul, lebih banyak, semakin
banyak, tak ada mimik wajah, semuanya datar tak ada yang tersenyum, tak ada
tangisan, kekesalan, ataupun seram. Semuanya datar dan hening. Sama sekali tak
ada kata yang terucap, bibir mereka tertutup, bermantel dan mengenakan pakaian
hitam tebal dan tertutup, yang nampak hanyalah kulit wajah mereka seperti
vampire di film twilight, begitu pucat. Semakin banyak, lebih banyak. Aku pun
mulai ketakutan, hanya aku sendiri yang berkerudung.
Aku berdiri karena seolah mereka berjalan menuju arahku dari
berbagai arah, aku sapa tak ada reaksi apapun, tetap saja datar. Tak menakutiku
namun aku takut. Mereka semakin banyak dan semakin dekat, semakin mendekat,
semakin terlihat wajah mereka yang terlihat putih transparan itu, lalu aku harus
bagaimana, aku merasa asing, semuanya hitam seolah memberi warna kontras agar
kulitnya terlihat berbeda. Aku merah sendirian. Aku takut, semakin takut. Dan
aku menatap langit, menatap salju yang berguguran itu, Kala orang –orang itu
semakin mendekatiku, aku memejamkan mata.
Kubuka mataku kembali, pagi hari Indonesia sangat indah
semuanya ramah, jam dikamarku menunjukkan waktu shubuh saatnya aku menunanikan
sembahyang. Bunga tidur tadi seakan- akan sangat nyata, aku masih terbuai oleh
suasana salju seperti film Frozen, semuanya putih. Dan agak sedikit terbayang
dengan orang-orang putih pucat tadi.
Ku beranjak dari tempat tidur, kubuka jendela kamarku,
kuhirup udara pagi, sangat segar, segar yang sangat alami. Ku nyalakan lampu
kamarku yang tampak gelap. Kuberkaca pada cermin, ternyata wajah dan rambutku
begitu mengerikan setelah bangun, yasudah aku pergi ke kamar mandi untuk
mengambil air wudhu, lalu melaksanakan shalat shubuh.
Seusai shalat aku kembali berkaca, langit tampak lebih
terang, matahari mulai bangun. Tampak lebih jelas dan aku merasa ada yang
berbeda pada wajahku, tampak lebih putih. Apa aku masih berkhayal tentang
mimpiku tadi? Ah baguslah pikirku kulitku jadi lebih putih karena memang
akhir-akhir ini aku jarang sekali bertemu matahari.
“Nak kalau kamu sudah bangun bantu ibu menyiapkan makan”
panggil ibuku.
“Iya bu..” jawabku sembari bergegas membereskan kasur.
Ibuku tengah berteman dengan dapurnya, memang kebiasaan
keluarga kami dari sejak pagi buta sudah harus selesai semua pekerjaan rumah,
keluarga kami bukan keluarga yang banyak uang, jadi kami tak mampu bila harus
menggaji pembantu.
Aku adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara, aku satu-satunya anak
perempuan, kakakku sudah bekerja dan menikah, sedang adikku duduk di bangku
SMA. Aku sangat akrab sekali dengan mereka, aku sangat menyayangi mereka,
begitupun sebaliknya, terlihat dari sebuah foto yang kami pajang di ruang tamu
dalam pigura yang tak begitu besar, didalam foto itu aku satu-satunya perempuan
berada ditengah dan ke-2 super heroku ada disampingku sembari mencium pipiku
dengan kasih sayang. Foto itu diambil ketika kami kumpul dirumah semua sekitar
7 bulan lalu.Dalam foto itu tertulis nama Wikrama, Prameswariris, Aksara.
Itulah nama-nama anak ibuku yang sekilas terdengar aneh entahlah orangtua kami
yang memberikan nama itu. Kata ibu Wikrama berasal dari bahasa sansakerta, itu
berarti keteguhan hati, Prameswariris itu terbagi dari 2 kata yakni, Prameswari
berarti permaisuri dan Iris yaitu pelangi, dan Aksara yang berarti huruf dalam
bahasa sunda. Dan yang memakai nama Indonesia hanyalah aku, entah apa maksud
ibuku yang filosofis ini.
Memang quality time
itu ketika semua berkumpul lengkap dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
Sayangnya hal itu jarang sekali terjadi, kakakku mas Wikrama, sudah memiliki
rumah sendiri bersama istri dan anaknya, si lucu Banu. Dan adikku, Aksara, ia
sekolah sambil pesantren. Maklumlah karena dalam keluarga, kami tidak punya
sosok seorang ayah, jadi Aksara ibu
pesantrenkan agar akhlaknya tidak berantakan, ibu terlalu khawatir dengan pergaulan
anak muda zaman sekarang. Jadi aku dirumah hanya berdua dengan ibuku yang
cantik. Keahlianku satu, aku paling jago membuat sambel terasi, dan itu adalah
hal paling memikat untuk memancing agar keluargaku kumpul dirumah, menemani
ibu.
“ris kok muka kamu putihan?” tanya ibu.
“iya bu, iris juga ngerasa gitu” ungkapku.
“Kamu perawatan ya?” ibu penasaran.
“engga kok bu, mungkin karena akhir-akhir ini iris jarang
ketemu matahari” pikirku.
“ohh.. kalo udah rapih semua, kamu makan dulu, udah ibu
siapin nasi goreng” suruh ibu.
“iya bu.. hari ini masuk jam 7, aku mandi dulu” sambil ku
berjalan menuju kamarku.
“sabun yang dikamar mandi abis.. kamu ambil dilaci sabun yang
baru ris” teriak pelan ibu.
“oke bu...” jawab iris.
Hari ini begitu riang, ayam tetangga berkokok elok dengan
suara khasnya setiap pukul 6.15. Aku sudah siap berangkat ke kampus, aku
merapikan buku-buku, tugas, baju dan
jilbabku, dan sang pengingat waktuku yang mungil tak ketinggalan ku belitkan di
lengan kiriku. Aku melihat tangan dan bercak putih ini semakin meluas terlihat
aneh sangat kontras. Aku tertegun dalam hati berucap “ya Allah”.
“Ris kamu kelupaan sesuatu?” tanya ibu.
“Oh apel merahku bu hehe.. asalamu’alaikum Iris berangkat bu”
pamit Iris sembari cium tangan ibunya.
Si scoopy kuning ini melaju mengantarku kekampus. Aku mencintai
sastra, mungkin nama anehku juga menjadi pemicu mengapa aku menyukai sastra dan
pastilah yang ku ambil ini jurusan Sastra Indonesia sesuai dengan nama
belakangku. Jadwal jam 7 ini adalah matakuliah literatur, matakuliah ini
menjelaskan tentang karya sastra seperti novel, puisi, cerpen, dll. Yang
berhubungan dengan karangan dan bertalian dengan seni sastra. Karya sastra
adalah hasil cipta manusia dengan bahasa sebagai alatnya. Sastra, aku suka
menulis. Ilmu murni yang menggali tentang bahasa. Kelak setelah kuliahku selesai aku ingin
menjadi seorang jurnalis.
Menurut Sulistyo – basuki (1996) literatur dibedakan berdasarkan sifatnya terbagi 3:
1 1. Dokumen
tekstual
Menyajikan isi lengkap
dalam bentuk teks tertulis untuk kemudian dibaca. Dokumen tekstual meliputi
buku, majalah,dll.
2. Dokumen
non tekstual
Dokumen non
tekstual juga memuat teks tertulis, namun bagian utamanya disajikan dalam
bentuk bukan tertulis atau bentuk lain seperti :
a.
Dokumen ikonik, misalnya lukisan, foto, dll.
b.
Dokumen suara, berupa radio, kaset, dll.
c.
Dokumen audio visual, sperti televisi, film dan
video.
3. Dokumen
campuran
Merupakan dokumen
yang menggabungkan dokumen tekstual dan nontekstual menjadi satu. Seperti buku
ajar bahasa inggris yang dilengkapi dengan kaset untuk memfasilitasi
pembelajaran listening.
Itulah sekilas pemaparan dosenku tentang jenis literatur. Ya
begitulah kami, anak sastra yang setiap hari berteman dengan huruf dan bahasa
yang dipadukan secara acak sehingga menghasilkan sejuta makna. Hebatnya bahasa.
Mengapa aku menyukai bahasa? Mungkin keturunan ibuku yang katanya pas muda dulu
senang menulis puisi, lihat saja nama anak-anaknya, menakjubkan bukan?
“Minggu besok kalian mempresentasikan macam-macam karya
sastra, bentuk kelompok masing-masing 4 orang, minggu besok saya akan acak
kelompok siapa yang akan presentasi, jadi kalian harus bersiap-siap” Papar ibu
dosenku yang tampak modis ini.
“Haahh??? Diacak bu???” keluh teman-teman sekelas.
“yasudahlah.. pasrah” ujar teman yang lain.
Tugas lagi tugas lagi, seolah tugas itu gali lobang tutup
lobang, selalu bertambah jika yang yang
lain sudah dikerjakan. Beginilah kehidupan mahasiswa, tugas lalu presentasi.
Jadwal kuliah sangat padat jadi mana ada waktu untuk memikirkan hal lain
disebut cinta.
Teman – temanku menyinggungku saat beranjak keluar kelas.
“Ris, mukamu kenapa hari ini?” tanya Amira.
“Memangnya kenapa?” sontak Iris kaget.
“Nih kaca nih...” Gisha menawarkan kacanya.
“astagfirullah... tadi samar kenapa sekarang semakin jelas”
Iris semakin kaget.
“Kamu panuan ris? Ko gak rata gitu sih? Emang pake apaan?”
canda Amira.
“Gatau nih perasaan aku gak pake yang aneh-aneh” jawab Iris
bingung.
Aku teringat akan mimpi tadi dan
kakek tua yang kulihat beberapa pekan lalu, apakah itu pertanda? Gumamku dalam
hati.
Comments
Post a Comment